Jumat, 16 September 2011

kepemimpinan

TEORI KEPEMIMPINAN
 
Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan. Dalam karya tulis ini akan dibahas tentang teori dan gaya kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan antara lain :
Ø Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.
Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :
o Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata – rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.
o Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.
o Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.
o Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya
Ø Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal.
o Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.
o Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.
Ø Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.
Ø Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.

Ø Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.
Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

Rabu, 14 September 2011

ADAT NIAS


Pelaksanaan Adat Perkawinan Di Nias Telah Mengalami Erosi Nilai 

Pada hari kedua Lokakarya tentang Böwö yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik Keuskupan Sibolga, Fidelis E. Waruwu, M.Sc.Ed., menyampaikan pemikirannya berkaitan dengan tema lokakarya ini. Direktur Education, Training & Consulting Jakarta ini mengemukakan bahwa sistem adat perkawinan Nias mengandung nilai-nilai luhur seperti nilai penghormatan (fame’e sumange, fame’e afo), nilai ketaatan total, sikap tunduk dan menyerah serta sikap menunjukkan kebesaran kasih (fa’ebua mböwö).


Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara ini, pelaksanaan adat-istiadat yang mula-mula berisi nilai-nilai luhur itu kemudian mengalami perubahan dalam perguliran waktu. Beberapa hal yang pada mulanya dilakukan sebagai ritual untuk mendukung nilai, kemudian dimutlakkan dan menjadi keharusan. Akibat pemaksaan jumlah pemberian tanda kasih (fa’ebua mböwö) itu nilai-nilai luhur yang dikandungnya mengalami erosi. Nilai-nilai luhur itu direduksikan menjadi jujuran yang harus dibayar/dilunasi. Dengan kenyataan seperti itu, maka adat-istiadat itu telah jauh dari semangat awal pelaksanaannya yang lebih spiritual. Nilai-nilai luhur dalam adat perkawinan yang merupakan pembuktian kebesaran kasih (fa’ebua mböwö) kedua belah pihak (pihak keluarga mempelai wanita dan mempelai pria) sudah direduksikan dalam sebuah praktek materialistis, pemaksaan pemberian sinema pihak-pihak keluarga wanita. Tentu saja, orang-orang seperti ini bukan membuktikan diri sebagai orang yang memiliki kasih yang besar (sebua böwö) tapi orang yang miskin kasih dan justru hanya memikirkan kenikmatan sesaat (tolo-tolonia dan fa’ebua zinemania).
Di satu pihak, pelaksanaan adat “fa’ebua mböwö” memperlihatkan betapa kebesaran hati orang-orang Nias. Mereka bersedia memberi makan semua warga kampung, menunjukkan kemurahan hati dengan bersedia mengikuti apa saja yang diminta oleh pihak mertua dari pihak mempelai wanita. Apabila sudah ada relasi kekeluargaannya, maka semua pihak menjadi anggota keluarga besar dan disebut bukan lagi orang lain (sitenga bö’ö). Artinya sistem adat itu memperkokoh hubungan persaudaraan di antara seluruh keluarga.
Untuk menarik perhatian para pendengarnya, Fidelis Waruwu melontarkan pertanyaan reflektif: apakah böwö bisa dirubah? Menjawab pertanyaan reflektif itu, Fidelis mengatakan bahwa böwö tidak boleh dan tidak bisa dirubah. Perubahan yang perlu dilakukan ialah perubahan terhadap praktek/pelaksanaan adat böwö.
Untuk memperkuat pernyataannya itu, penceramah yang sudah memiliki lisensi internasional ini menerangkan bahwa kebudayaan suatu masyarakat tertentu terbentuk melalui kebiasaan harian yang dilakukan oleh individu dalam masyarakatnya. Kebiasaan itu menjadi sifat-sifat dan beberapa dari sifat yang dominan menjadi karakter yang kemudian membentuk sikap mental. Apabila individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat itu tidak melakukan seperti yang sudah dihayati bersama itu, maka muncul rasa bersalah dan malu di dalam batin. Dengan itu, kontrol budaya sudah muncul di dalam diri setiap orang. Hal ini sangat sulit dirubah dengan sejumlah aturan. Walau demikian, bukanlah tidak mungkin dilakukan perubahan. Untuk melakukan perubahan terhadap kebiasaan yang sudah menjadi karakter itu dibutuhkan kesadaran. Apabila kesadaran ada, maka pada tataran luarnya akan mengalami perubahan.
Dengan penjelasan itu, Fidelis Waruwu hendak menyampaikan bahwa perubahan terhadap praktek/pelaksanaan adat böwö bisa dilakukan meskipun membutuhkan proses/waktu yang panjang. Langkah yang dibutuhkan untuk itu ialah membentuk kesadaran dalam diri masyarakat Nias bahwa orang Nias perlu kembali kepada nilai-nilai luhur nenek moyang mereka yang mempunyai böwö sebua (kasih yang besar), yakni memberi yang terbaik kepada orang lain terutama ketika putera/i mereka memulai kehidupan berkeluarga. Proses penyadaran ini mesti dimulai dalam keluarga-keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah kampung. Bentuk-bentuk katekese yang menekankan proses penyadaran seperti ini pantas dirumuskan dan diselenggarakan dalam keluarga dan kelompok-kelompok kecil lainnya.

Senin, 05 September 2011




BKKBN PUSAT AKAN CAIRKAN ANGGARAN 12 MILIAR UNTUK PROGRAM KB DI NIAS

Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi
Sumatera Utara (BKKBN Sumut) H Nofrijal SP MA menyebutkan, untuk meningkatkan
pencapaian program Keluarga Berencana (KB) di Pulau Nias Sumatera Utara,
pemerintah pusat akan memberikan anggaran tambahan sebesar Rp12 miliar.
Anggaran tersebut, kata Nofrijal, usai buka bersama di kantor BKKBN Sumut
Jalan Krakatau Ujung Medan, Kamis (18/8), merupakan anggaran hasil efisien
anggaran yang diambil dari setiap anggaran pokok setiap provinsi.

"Setiap anggaran tahunan dipotong 10 persen untuk efisiensi. Kumpulan
efisiensi anggaran itu digodok pemerintah pusat dan diserahkan lagi ke daerah.
Kali ini, ada tambahan peningkatan program KB di wilayah kepulauan dan
perbatasan. Sumut mendapat porsi Rp12 miliar untuk meningkatkan program KB di
Pulau Nias," sebut Nofrijal.

Sejauh ini, dia mengakui, pencapaian program BKKBN Sumut secara global sudah
bagus. Walaupun masih ada beberapa daerah khususnya di kawasan Pulau Nias yang
masih minim.

Itulah sebabnya, fokus ke depan saat ini BKKBN akan gencar melakukan promosi
program pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) kawasan tersebut.

"Yang menjadi sasaran target promosi KKB kita saat ini adalah daerah
pencapaian KKB yang masih relatif minim, yakni Pulau Nias meliputi Nias Selatan
dan Nias Barat," kata Kepala BKKBN Perwakilan Sumut Nofrijal.

"Pencapaian KKB hingga bulan Juni atau semester I 2011 di wilayah Sumut
mencapai 80%. Pencapaian KKB terbesar disumbang oleh Kota Medan, Kabupaten
Sergai, Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Langkat," jelasnya.

Hasil yang cukup maksimal tersebut tidak terlepas dari peran aktif pemerintah
daerah dan kalangan militer, seperti TNI yang ikut turun langsung dalam
mensosialisasikan, mengedukasi dan mempromosikan program KKB ke tengah
masyarakat.

Selain itu, peran media massa, baik dari elektronik, cetak dan digital
(online) juga turut membantu BKKBN dalam mengedukasi dan mengkomunikasi secara
informasi program pembangunan KKB.

Menurutnya, kendala yang dihadapi dalam menyosialisasikan program pembangunan
KKB di Pulau Nias karena medan yang ditempuh begitu sulit dan terbatasnya tenaga
penyuluh yang dimiliki, sehingga masyarakat belum begitu paham tentang program
KKB.

Disebutkannya juga, melalui buka puasa bersama ini, pihaknya ingin menyatukan
komitmen untuk lebih meningkatkan kinerja pegawai, agar target pencapaian
promosi dan program KKB dapat terealisasikan hingga akhir tahun.

"Kita optimis, target pencapaikan program KKB di tahun ini akan tercapaikan
dengan hasil yang maksimal," ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, keberhasilan program KB sangat erat kaitannya dengan
tersedianya anggaran di setiap kabupaten/kota. Sedangkan provinsi hanya sebagai
pendukung.

Tapi, lanjutnya, sebagian besar kabupaten/kota masih minim menganggarkan
untuk program KB. Sehingga, program sulit berjalan hingga ke desa-desa.
Sedangkan BKKBN Sumut sendiri sifatnya hanya membantu. Paling tidak sepertiga
anggaran BKKBN Sumut selama ini diplot untuk membantu daerah. "Saya sudah bicara
ke 10 bupati dan walikota. Mereka akan meningkatkan anggaran untuk program KB.
Mungkin tahun depan," sebut Nofrijal.(nai)

Pulau Nias

Cerita rakyat Nias

Pada dahulu kala sebuah cerita sang moyang atau dalam istila bahasa Nias yang namanya "Buruti Siraso" (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Pada zaman Balugu (raja) "Silaride Ana’a" adalah keturunan lebih dari sepuluh ketika Balugu Luo Mewöna. Siraso adalah saudara kembar dari Silögu Mbanua (Silögu).

Di Teteholi Ana’a, Siraso memiliki kebiasaan mendatangi rakyat/masyarakat Nias(Niha hulo tano Niha) saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.

Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso. Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.

Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.

Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasutri (pasangan suami-istri) barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.

Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).

Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:

He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.

(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)

Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir

Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:

Mabé wabaliŵa mbalaki, mabé wabaliŵa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.

(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)

Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.

Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempodahulu kala.